Keadaan Pertama :
Perempuan tersebut sudah dilamar oleh
laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan
laki-laki lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama
membatalkan lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shohih
Muslim,Kairo, Dar al Bayan, 1407/1987, jilid 3, juz 9 : 197, begitu
juga oleh Ibnu Qudamah, di dalam Al-Mughni, 10/ 567 .
Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ
“Janganlah meminang wanita yang telah
dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar
saudaranya “ ( HR Muslim, no : 2519 )
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا
يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ
قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“ Nabi Muhammad saw telah melarang
sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan
janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang
sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang
sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )
Hanya saja, para ulama berbeda di dalam
menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka
mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang
sebagian yang lain berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan
makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan :
“ Maksud dari larangan hadist di atas, yaitu jika orang yang sholeh
melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki sholeh yang lain
melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang
sholeh ( orang fasik ), maka dibolehkan bagi laki-laki sholeh untuk
melamar perempuan tersebut. “ ( ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz : 2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut ?
Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya
yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena dating
laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan,
kebencian dan dendam antara satu dengan yang lain.
Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama
menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah swt,
tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh
dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Daud dari madzhab Dhohiriyah.
Pendapat Ketiga
menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka
pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual,
maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua
riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan
tidak batal. . ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, juz : 2 /3 )
Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar
laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut menolak lamaran itu atau
belum memberikan jawaban. Di dalam madzab Imam Syafi’i ada dua pendapat
tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah
hukumnya boleh. ( al Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar
al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti
Qais yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian
beliau datang kepada Rasulullah saw mengadu :
قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ
ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ
خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ
اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “
Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau(
Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah
melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang
yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul
), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta,
karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak
menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya
menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan
padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya. ( HR Muslim, no :
2709 )
Berkata Imam Syafi’I menerangkan hadist di atas :
وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ
رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ
خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ
أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا
مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا
على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن
الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا
صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا
أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ
خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ
“ Fatimah telah memberitahukan
Rasulullah saw bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya
tidak ragu-ragu dengan izin Allah swt bahwa lamaran salah satu dari
keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah sawpun tidak
melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari
keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fatimah telah menerima salah
satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah saw melamar Fatimah
untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau
larang ( yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain ),
saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah saw melarang perbuatan
Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang
dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika
perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka
dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ ( Al
Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz 5/ 64 )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang
menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk
tiga orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin al Hakam, dan Abdullah bin
Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama
sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah
dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. ( Ibnu Qudamah,
al Mughni : 9/ 568 )
Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum
memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia
menerima lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah
dilamar dalam keadaan seperti ini, para ulama berbeda pendapat di
dalamnya :
Pendapat Pertama ;
Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima
lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad
dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadist Ibnu Umar yang
menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua :
Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam
Syafi’i dalam qaul jadid ( pendapat yang terbaru ). Menurut kelompok ini
bahwa di dalam hadist Fatimah binti Qais menunjukkan bahwa dia (
Fatimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu
dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah
saw tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.
itu, di dalam hadist tersebut tidak
disebutkan bahwa nabi Muhammad saw bertanya terlebih dahulu sebelum
melamarkan untuk Usamah, apakah Fatimah sudah cenderung kepada salah
satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang
perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran
sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua
pendapat di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya
melamar perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki
yang melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena
kecenderungan sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu A’lam.
Sumber : http://elfatraniy.wordpress.com
Sumber : http://elfatraniy.wordpress.com
saya lg stress krna saya umur 42 thn msh nganggur dan jomblo. dulu thn 2003 saat msh kerja saya sering dimutasi, diremehkan orang krna otak dan tenaga saya payah shg saya mengundurkan diri, nyari kerja lg baru sebentar dipecat krna tdk becus kerja. dulu saya kalau nyari jodoh sering ditolak cewe, diremehkan cewe, dibohongi teman, dimanfaatkan teman, diancam org, dipukul orang saat nyari cewe dll.. akibatnya saya selama 15 thn tiap hari marah marah, berkata kotor, susah tidur, kdng banting barang barang, sering berdoa yg buruk buruk dll. buka usaha kecil kecilan di rumah bangkrut, jualan barang secara online tdk laku laku. saya sdh 12 thn agak rajin ibadah tp nasib tdk berubah..dulu thn 2003 saat merantau ke bdg saya melamar cewe nama nya Nur (karyawati iwamatex) org andir ciparay, tp lamaran saya ditolak, saya sampai skrng blm mampu melupakan dia. yg bikin saya cinta mati dg nur krna dia cantik, pendiam, lugu, rajin sholat, tdk matre, jarang keluyuran, dia juga jadi tulang punggung keluarga krna ortu nya petani miskin. saya mengira nur jodoh saya, krna saya kalau ada di dkt dia hidup saya semangat, hati saya damai, tp ternyata dia cewe yg paling sulit saya dapatkan. saya ngejar dia 2 thn saya ditolak habis habisan.. saya sdh nyari yg lain tp sulit. saya org nya dungu dan loyo shg suliit jodoh dan rejeki..
BalasHapus